
JAKARTA (wartadigital.id) – Komisi XI DPR RI akan terus memantau rencana Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani yang akan kembali menambah utang baru pada semester II 2021.
Sebab rencana utang baru pemerintah nilainya jumbo. Kemenkeu di bawah kepemimpinan Sri Mulyani akan memburu utang baru mencapai Rp 515,1 triliun pada semester II 2021.
“Kami terus melakukan pengawasan agar utang pemerintah dibelanjakan secara efektif,” ujar anggota Komisi XI DPR RI Amir Uskara, Rabu (11/8/2021).
Pengawasan ketat, kata Amir, agar utang yang nantinya didapatkan pemerintah dipergunakan tepat sasaran. “Agar pemulihan ekonomi terjadi pada semester II 2021 dan terus berlanjut solid di 2022,” terangnya.
Legislator PPP ini memberikan catatan kepada Sri Mulyani agar bisa mengelola utang dengan baik. Salah satu caranya adalah dengan mencari uang yang bersumber dari dalam negeri. “Catatannya pembiayaan pemerintah dalam bentuk utang sebisa mungkin dicari dari sumber dalam negeri untuk meredam volatilitas kurs rupiah,” pungkasnya.
Utang Terus Meroket
Sementara Ekonom Senior Fuad Bawazier menyampaikan pemerintah perlu memperhatikan peringatan BPK beberapa waktu yang lalu ihwal bahayanya gagal bayar utang lantaran pertumbuhan pendapatan negara yang menciut. “Sementara pertumbuhan utang negara meroket. Sudah agak lama pemerintah gali lubang yang semakin dalam untuk tutup lubang lama. Sepertinya Menteri Keuangan (Sri Mulyani) tidak punya ide selain bikin utang,” ucap Fuad, Rabu (11/8/2021).
Kondisi ini ironis. Pasalnya Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja menyampaikan laporan pertumbuhan ekonomi nasional kuartal II 2021, hasilnya ekonomi nasional tumbuh 7,07 persen di kuartal II 2021 berdasarkan year on year.
Namun, di sisi lain pemerintah malah hendak menambahkan utang negara di luar negeri sebesar Rp 515 triliun. Kebijakan penambahan utang itu dinilai kontradiktif dengan pernyataan BPS di mana ekonomi nasional saat ini meningkat.
Dia menambahkan pemerintah sempat punya ide baru dengan mengeluarkan rencana kebijakan memajaki sembako, jasa pendidikan dan jasa kesehatan sebesar 12 persen untuk menutupi utang negara.
“Ide ini sudah dikirimkan ke DPR dalam bentuk revisi RUU KUP (Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) yang kabarnya akan dibahas dalam tahun ini. Melihat isinya yang mengatur macam-macam pajak, cukai, dan tax amnesty, serta pidana perpajakan dan lain-lain maka judul RUU KUP yang diajukan oleh pemerintah itu tidak tepat,” tegasnya.
Menurutnya, pemerintah mendorong adanya omnibus law perpajakan, bukan malah membuat kebijakan pajak yang menyentuh rakyat kecil. “Tapi mungkin karena kemarin Omnibus Law Cipta Kerja banyak dicibir, jadi tidak lagi pakai istilah Omnibus Law? Tapi jelas RUU KUP itu jenisnya Omnibus Law karena isinya macam-macam,” urainya.
Dengan RUU KUP ini pemerintah ingin menambah pemasukan negara untuk meningkatkan kemampuannya bayar utang, tapi sangat disayangkan lagi-lagi rakyat kecil yang akan memikul beban utang itu. cik, rmo