JAKARTA (wartadigital.id) – Pernyataan Presiden Jokowi bahwa ia boleh berkampanye dan memihak di Pemilu 202 terus menuai polemik masyarakat. Tahu kalau disorot, Jokowi sampai menunjukkan sebuah kertas cukup besar berisi Pasal 281 dan Pasal 299 UU Pemilu yang mengatur Presiden dan Wakil Presiden boleh berkampanye.
Merujuk UU Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 299, kata Jokowi, bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye. Kemudian Pasal 281 juga jelas bahwa kampanye pemilu yang mengikutsertakan presiden, wakil presiden, harus mengikuti ketentuan tidak menggunakan fasilitas negara kecuali fasilitas pengamanan. Lalu menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Pernyataan Jokowi ini mendapat reaksi dari Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti lulusan Universitas Indonesia (UI), dia memiliki pandangan yang berbeda. Ia meminta Pasal 299 UU Pemilu tidak dibaca hanya satu ayat. Pasal itu memiliki 3 ayat serta terkait dengan pasal sebelum dan sesudahnya.
“Nah, kalau kita baca semua itu baca aja Pasal 299, deh, tapi lengkap. Kemudian ke [Pasal] 301. Kita akan paham bahwa Presiden ataupun Menteri itu bisa aja kampanye kalau, satu, dia berjuang untuk dirinya sendiri, ya, misalnya Jokowi 2019 waktu dia petahana tapi dia nyalon lagi. SBY 2009 itu situasi seperti itu,” kata Bivitri kepada wartawan, Minggu (28/1/2024).
Kedua menurut Bivitri berdasarkan pasal-pasal tersebut Jokowi hanya bisa berkampanye bila untuk parpolnya. Ini artinya Jokowi tidak bisa berkampanye untuk Prabowo-Gibran karena bukan paslon yang didukung PDIP. “Seandainya mendukung Prabowo- Gibran, dua-duanya bukan dari partai resminya Pak Jokowi. Partai resminya Pak Jokowi masih PDIP. Jadi sebenarnya tidak applicable juga,” ujar Bivitri.
Jokowi dan menteri, kata Bivitri, jika ikut berkampanye maka harus masuk bagian tim kampanye. Mereka tidak bisa hanya menyatakan mendukung salah satu paslon. “Yang ketiga, kalau presiden ataupun menteri-menteri itu, menteri-menteri terutama, ya, adalah tim kampanye resmi dari kandidat. Jadi bukan sekadar pendukung ya. Itu tidak masuk kategori Pasal 299 dan 301. Nah, jadi itu tidak applicable ke Pak Jokowi. Menurut saya dia gak bisa mengajukan cuti,” tambahnya.
Sulit Pisahkan Penggunaan Fasilitas Negara
Bivitri berpandangan jika Jokowi mengajukan cuti untuk kampanye maka pemisahan penggunaan fasilitas negara akan sulit. Sebab akan ada fasilitas yang melekat pada dia. Selain itu cuti juga diatur harian.
“Jadi bukan cuti selama masa kampanye dua bulan misalnya atau tiga bulan kan gak begitu. Tapi per harinya gitu. Nah kalau per harinya ya kan nggak bisa dipisahkan,” kata Bivitri.
“Misalnya dia pakai sekretarisnya atau pakai ajudannya yang bawa-bawain dokumen dan segala macam barang-barang pribadi. Atau misalnya ketika menggunakan waktu yang harusnya dia bisa gunakan untuk hal-hal lain yang terkait kenegaraan, itu memang sangat-sangat susah dipisahkan, pasti akan diperdebatkan,” tambah Bivitri.
Menurut Bivitri, ini akan menimbulkan kritik dari masyarakat. Bahkan mungkin akan menambah daftar laporan ke Bawaslu terkait dugaan pelanggaran saat Jokowi berkampanye. “Jadi memang sangat-sangat sulit, pasti bisa banyak kritik, pasti bisa banyak, bisa ada laporan-laporan ke Bawaslu kalau melihat perintil-perintilnya seperti tadi. Karena apapun akan melekat pada jabatan. Makanya memang harus sangat hati-hati dalam konteks ini,” kata Bvitri.
Maka itu Bivitri menyarankan Jokowi lebih baik tidak berkampanye meskipun memiliki hak. Meskipun jika ia memenuhi syarat seperti di UU Pemilu. “Akan lebih wise menurut saya seperti Pak Ma’ruf Amin aja, kan dia udah bikin statement, dia bilang, ‘saya tahu saya berhak, tapi saya tidak akan menggunakannya,” tutur Bivitri.
Dijelaskannya dalam situasi seperti sekarang, di mana situasi ketidakadilan banyak sekali terjadi, banyak macam-macam kita sering lihat, akan lebih baik memang posisinya tidak melakukan kampanye. “Dan kalau dalam konteks Pak Jokowi menurut saya memang tidak bisa sih,” pungkasnya. kmp, ins