Penulis : FEBRIANA KEILA
(MAHASISWI STUDI KEJEPANGAN UNAIR)
Maiko dan Geisha mulai dikenal di Kyoto sekitar 300 tahun lalu pada Zaman Edo. Maiko dan Geisha adalah kedua hal yang berbeda namun berkaitan. Pada dasarnya, Maiko adalah sebutan untuk calon Geisha. Jasa yang diberikan oleh Maiko dan Geisha hanya bisa didapatkan di dalam perjamuan penting yang juga berisi orang-orang penting seperti petinggi negara atau bahkan kaisar Jepang.
Sebelum mengetahui lebih detail mengenai Maiko dan Gesiha yang merupakan wanita penghibur di Jepang, terlebih dahulu kita akan mengetahui apa itu Maiko dan Geisha.
Apa itu Maiko?
Maiko (舞妓) merupakan sebutan untuk gadis yang mengabdikan hidupnya dengan mempelajari kebudayaan Jepang dan bergaya hidup seperti Geisha. Adapun ketentuan umur untuk menjadi Maiko yaitu mulai dari umur 15 tahun hingga 20 tahun. Para Maiko biasanya tinggal di Okiya (tempat pelatihan bakat) selama kurang lebih 5 tahun lamanya sebelum menjadi Geisha. Maiko dianggap masih terlalu dini untuk bertanggung jawab atas kehidupan pribadinya sehingga mereka harus tinggal di Okiya.
Dalam masa pelatihan 5 tahun ini, seorang Maiko dilarang memiliki kehidupan percintaan guna memfokuskan diri untuk mengabdikan hidupnya dengan mempelajari kebudayaan Jepang. Seorang Maiko akan diajari menyanyi, menari, memainkan alat musik, dan pelajaran tata krama dasar untuk menyambut tamu. Pada kurun waktu berlatih untuk menjadi Geisha, seorang Maiko tidak diberi upah atas jasa yang ia berikan karena bisa dibilang ini merupakan masa magang mereka sebelum menjadi Geisha.
Apa itu Geisha?
Geisha (芸者)merupakan Maiko yang telah menyelesaikan masa pelatihannya selama lima tahun. Berbeda dengan Maiko yang terkesan seperti gadis atau anak-anak, Geisha memberikan kesan wanita yang lebih dewasa. Geisha juga dikenal dengan istilah Geiko yang merupakan istilah khas daerah Kansai untuk memanggil sosok Geisha. Seorang Geisha tidak lagi tinggal di Okiya karena Geisha dianggap sudah dewasa dan memiliki tanggung jawab atas kehidupannya sebagai Geisha.
Tidak ada ketentuan umur untuk menjadi seorang Geisha. Seorang Geisha bisa menjadi Geisha selama apapun yang mereka mau. Tapi jika seorang Geisha memilih untuk menikah, maka saat itu juga statusnya menjadi Geisha akan berhenti. Tugas Geisha kurang lebih sama seperti Maiko yaitu menyanyi, menari, memainkan alat musik, dan memimpin jalannya perjamuan.
Alat musik yang biasa digunakan oleh Maiko dan Geisha merupakan alat musik tradisional Jepang yang bernama Shamisen (sejenis ukulele kalau di Indonesia). Setelah resmi mendapatkan status sebagai Geisha, barulah mereka akan diberi upah atas jasa yang mereka berikan.
Perbedaan Maiko dan Geisha secara Penampilan
- Maiko (舞妓)
- Maiko berjalan menggunakan sandal tradisional Jepang yang bernama ‘pokkuri’ yang tingginya sekitar 10 cm dan biasanya terbuat dari kayu.
- Seorang Maiko tidak memakai rambut palsu atau rambut tambahan. Sanggul yang dibuat merupakan sepenuhnya rambut asli mereka. Dengan ini seorang Maiko harus menjaga rambutnya agar tetap panjang.
- Maiko akan menggunakan hiasan-hiasan rambut yang lebih ramai daripada seorang Geisha. Gaya menggantung hiasan rambut dan jepit rambut yang indah atau bisa disebut dengan istilah ‘hanakanzashi’.
- Kimono yang digunakan oleh seorang Maiko yaitu kimono jenis furisode (kimono yang biasa digunakan oleh gadis-gadis Jepang dengan ekor lengan yang panjang) dengan warna cenderung pucat atau soft seperti merah muda pucat.
- Geisha (芸者)
- Geisha juga berjalan menggunakan sandal tradisional Jepang yang berbeda jenis yaitu ‘zori’. Sandal ini jauh lebih tipis dibandingkan dengan ‘pokkuri’. Sandal ‘zori’ dibuat dari jerami padi.
- Seorang Geisha menggunakan rambut palsu atau wig untuk membuat sanggul di kepala mereka. Dengan ini, seorang Geisha diperkenankan untuk memiliki rambut yang pendek.
- Berbeda dengan hiasan rambut ‘hanakanzashi’ yang digunakan oleh Maiko, seorang Geisha cenderung menggunakan hiasan atau ornament rambut yang lebih sederhana seperti sisir, kogai (tangkai atau tongkat pendek yang disematkan di tengah sanggul), atau tama (pin berbentuk bola).
- Geisha mengenakan kimono dengan gaya lebih dewasa (ekor lengan lebih pendek daripada furisode) dengan warna-warna lebih menyala seperti hitam, merah, atau biru tua.
Apakah Maiko dan Geisha sama seperti Wanita Penghibur yang Kita Ketahui?
Setelah apa yang saya dipaparkan di atas, kita akan mengetahui bahwa wanita penghibur di Jepang jauh berbeda dengan wanita penghibur yang kita ketahui khususnya di Indonesia. Maiko dan Geisha jelas harus melewati tahap pelatihan selama lima tahun terlebih dahulu sebelum bisa menjadi wanita penghibur di perjamuan penting.
Syarat dan peraturan untuk menjadi Maiko dan Geisha juga jelas dan tidak bisa sembarangan. Mereka juga tidak hanya sekadar menemani tamu ketika perjamuan tetapi juga memberikan jasa berupa bernyanyi, menari, memainkan musik, dan menuangkan minuman kepada tamu.
Perlu digarisbawahi kembali bahwa tidak semua kalangan bisa mendapatkan jasa dari seorang Maiko atau Geisha. Perjamuan yang mereka datangi merupakan perjamuan penting seperti perjamuan antar 2 negara atau ada tamu penting yang harus dijamu oleh kaisar Jepang. Geisha juga bisa menampilkan bakatnya di acara-acara tertentu seperti di dalam festival rakyat. Jadi mereka tidak hanya bisa ditemukan di perjamuan-perjamuan penting tetapi juga di festival tertentu di Jepang
Hal ini jelas berbeda dengan wanita penghibur yang kita ketahui dimana tidak semua calon wanita penghibur di Indonesia dilatih selama seperti yang dilakukan oleh Maiko dan Geisha. Wanita penghibur di Indonesia kebanyakan tidak memiliki kewajiban untuk dapat bernyanyi dengan baik, menari (tradisional), dan memainkan alat musik modern maupun tradisional dan cenderung hanya menemani para tamunya.
Konsep wanita penghibur di Indonesia memiliki gaya lebih kasual dan modern daripada wanita penghibur Jepang yang menghibur tamu perjamuannya dengan kebudayaan tradisional Jepang. Pun, akses untuk mendapatkan jasa wanita penghibur di Indonesia menurut saya lebih mudah digapai daripada akses untuk mendapatkan jasa Maiko dan Geisha. Jasa wanita penghibur di Indonesia juga sering kali disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini tentu saja akan mendatangkan ketidaknyamanan diantara para wanita tersebut dan sang tamu.
Perbedaan antara wanita penghibur di Jepang dengan wanita penghibur di Indonesia dapat secara kasat mata dianalisis. Ada banyak perbedaan yang signifikan mulai dari konsep, tugas, gaya berpakaian, hingga gaya rambut yang digunakan. Jasa Maiko dan Geisha ini juga masih eksis dan banyak digunakan oleh para petinggi Jepang hingga saat ini.
Artikel ini tidak bermaksud untuk merendahkan profesi manapun karena tidak ada profesi yang pantas mendapatkan penghakiman. Dengan adanya artikel ini, saya berharap pembaca dapat dengan bijak mengetahui apa itu Maiko dan Geisha sebagai wanita penghibur di Jepang serta apa bedanya dengan wanita penghibur yang kita ketahui di Indonesia. *