YANGON (wartadigital.id) – Militer Myanmar tak hanya merazia para demonstran anti kudeta di jalanan di kota-kota yang ada di Myanmar. Namun juga melakukan penggeledahan di sejumlah kompleks perumahan dan apartemen di Yangon, bekas ibukota Myanmar.
Aparat keamanan merazia rumah dan apartemen yang mengibarkan bendera partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
Tindakan polisi dan tentara semakin brutal dalam merespons unjuk rasa anti kudeta yang semakin meluas di Myanmar. Kota Yangon dinilai menjadi pusat perlawanan sipil terhadap junta militer saat ini.
Dilansir AFP, Selasa (9/3/2021), penggeledahan berawal ketika massa pro demokrasi kembali berdemo di pusat komersial San Chaung, Senin pagi yang bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional.
Kantor Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan pada Senin malam pasukan keamanan menutup blok jalanan San Chaung dan mengepung sekitar 200 pengunjuk rasa.
Pengepungan itu memicu kekhawatiran terkait bentrokan yang lebih parah lagi antara pendemo dan aparat. Dentuman keras bahkan sempat terdengar dari kawasan tersebut. Namun, tidak jelas apakah suara keras itu bersumber dari tembakan atau granat kejut.
Sejumlah penduduk yang menjadi saksi mata mengatakan pasukan keamanan mulai menggeledah apartemen setelah layanan internet padam sekitar pukul 01.00 waktu setempat. Warga menuturkan aparat menargetkan razia pada rumah-rumah dan apartemen yang terlihat mengibarkan bendera merah dan emas Partai NLD.
Junta militer memang membatasi layanan telekomunikasi dan internet guna meredam gerakan pemberontakan. Sejak itu, hampir setiap malam, akses internet di beberapa wilayah di Myanmar mati.
Seperti dilaporkan AFP, seorang warga mengatakan rumahnya ikut digeledah aparat. Padahal, ia mengatakan tak ada pengunjuk rasa yang bersembunyi di dalamnya. “Mereka menggeledah setiap gedung di jalan Kyun Taw-menghancurkan kunci gedung apartemen jika mereka di kunci dari lantai bawah,” kata seorang penduduk seperti dikutip AFP.
Warga yang tak ingin disebutkan namanya itu mengaku melihat puluhan orang ditangkap aparat selama penggeledahan. Menjelang fajar, pasukan keamanan mulai berhenti menggeledah. Kesempatan itu dijadikan beberapa pengunjuk rasa melarikan diri dari daerah tersebut.
San Chaung merupakan kota yang ramai dan terkenal dengan kafe, bar, hingga restorannya. Namun, kondisi kota itu telah berubah sejak protes anti-kudeta berlangsung.
Pagar barikade darurat dari bambu, karung pasir, meja, dan kawat berduri yang dipasang oleh pengunjuk rasa banyak berserakan di jalanan kota itu. Hal itu dilakukan para pedemo demi menghalau pergerakan aparat keamanan.
Kelompok pemantau Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik melaporkan lebih dari 60 orang terbunuh akibat bentrokan antara aparat dan pedemo sejak 1 Februari lalu.
Militer membantah bertanggung jawab atas kematian puluhan pedemo dan membela kudeta dengan berdalih bahwa pengambilalihan kekuasaan pemerintah dilakukan sebagai akibat kecurangan pemilu. cnn, afp