JAKARTA (wartadigital.id) – Pemerintah telah mengalokasikan impor beras sebesar satu juta ton kepada Bulog . Alokasi impor ini terbagi atas 500.000 ton untuk cadangan beras pemerintah (CBP) dan 500.000 ton sesuai kebutuhan Bulog.
Pemerintah menegaskan bahwa impor beras tersebut hanya untuk iron stock atau cadangan. Artinya, beras impor BBM tersebut tidak dikeluarkan saat panen raya.
Meskipun demikian, pengamat pangan IPB Sahara mengatakan bahwa impor itu akan memengaruhi harga beras di pasar. “Wacana impor beras di tengah panen raya itu akan memengaruhi psikologis pasar,” jelasnya, Selasa (9/3/2021).
Ia mengatakan, saat terjadi panen raya harga beras akan turun. Tak pelak, harga gabah di tingkatan petani juga turun. Kondisi ini diperparah dengan adanya impor beras. “Saat panen raya harga gabah akan turun, ditambah impor maka akan semakin turun,” terangnya.
Kondisi ini, lanjut Sahara, tentunya sangat meresahkan petani. Dengan harga yang semakin turun akan membuat petani mengalami kerugian yang lebih besar. “Kondisi ini yang meresahkan para petani. Dengan kata impor saja pasar sudah bereaksi. Apalagi sudah diputuskan, pasti sangat berdampak pada pasar sehingga harga beras akan semakin turun,” tandasnya.
Karena itu pemerintah diminta meninjau ulang rencana kebijakan impor beras sebanyak 1 juta ton pada tahun ini. Pasalnya, ketersediaan stok beras saat ini sedang surplus. Kebijakan impor beras yang dilakukan oleh pemerintah tidak ada urgensinya. Apalagi saat ini tengah memasuki panen raya.
“Saya melihat tidak ada urgensinya dalam impor beras sebanyak 1 juta ton di tengah kondisi panen raya. Februari sampai Mei merupakan panen raya. Jadi, produksi beras hingga hari raya Lebaran 2021 nanti akan surplus,” terangnya.
BPS telah merilis data potensi produksi beras pada Januari hingga April 2021 ada sekitar 14 juta ton atau naik 26% dibandingkan periode yang sama tahun 2020. Tidak hanya itu, panen raya juga memiliki potensi surplus pada Januari hingga Aprilsekitar 4,8 juta ton beras. Panen raya tahun ini bisa memberikan surplus.
Sementara itu Ketua Dewan Nasional Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin menduga ada peran mafia impor pangan di balik kebijakan impor beras sebanyak satu juta ton yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, keputusan pemerintah dalam melakukan impor tidak sesuai fakta lapangan. “Keputusan melakukan impor tidak berdasarkan fakta-fakta di lapangan,” katanya.
Ia menjelaskan ada beberapa indikasi atas dugaan tersebut. Pertama, selisih harga beras di pasar dalam negeri dan internasional begitu tinggi, yaitu sekitar Rp 2.400 per kilogram. Jika dihitung nilai margin bisa sampai Rp 3 triliun. “Setiap tahunnya kebijakan impor beras dilakukan pemerintah di saat panen raya. Ini sangat merugikan pentani karena membuat harga beras turun,” jelasnya.
Kedua, selalu ada kesimpangsiuran data tentang kecukupan beras. Hal ini merupakan masalah yang sama setiap tahunnya.
Menurutnya, untuk mengatasi masalah ini, harus ada data base yang valid. Kemudian data tersebut harus terintegrasi mulai dari petani hingga ke pemerintahan. “Data harus diperbaiki dan data itulah yang menjadi dasar pengambilan keputusan data dari daerah, petani, dan pemerintah. Setelah data itu ada barulah presiden yang mengambil keputusan,” terangnya.
Kemudian, harus ada badan pangan yang mengatur dan memiliki data-data tersebut. Sehingga secara konkret badan itu melihat ketersediaan pangan.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya mengatakan alasan pemerintah mengimpor beras ketika stok masih tinggi adalah untuk menambah cadangan. Hal ini dilakukan untuk mencegah kondisi terburuk. “Beras hasilnya tahun ini akan baik, tapi biar bagaimana pun pemerintah mesti punya cadangan atau yang disebut iron stock,” ujarnya. set, sin, ins