Oleh :
Oleh : Dr M Hadi Shubhan SH, MH, CN
Dosen Fakultas Hukum Unair
Kementerian Tenagakerjaan (Kemenaker) RI berencana untuk mengeluarkan Surat Edaran (SE) bagi perusahaan agar bisa mencicil pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) seperti tahun sebelumnya.
Secara teknis dan norma, SE tersebut telah melanggar peraturan. Pasalnya, di dalam Permenaker No 6 Tahun 2016 telah dituangkan bahwasanya perusahaan swasta harus memberikan hak THR buruh paling lambat adalah H-7 hari raya.
Selain itu, adanya Peraturan Pemerintah (PP) No 36 Tahun 2021 yang akan memberikan denda 5 persen kepada perusahaan apabila terjadi keterlambatan dalam pemberian THR.
Akan tetapi, merujuk pada situasi pandemi sekarang ini, munculnya SE Kemenaker itu dapat dipahami. Dengan melihat kondisi krisis di lapangan, yang terpenting adalah bukan buruh dapat THR atau tidak, tetapi buruh masih bisa bekerja atau tidak.
Tidak ada pihak yang diuntungkan dalam SE tersebut. Bagi perusahaan sendiri, SE itu menjadi diskresi bagi kondisi keuangan perusahaan. Sementara bagi pemerintah, aturan tersebut sebagai penyeimbang supaya sektor perusahaan tetap berjalan.
Tidak Boleh Digeneralisasi
Meski pencicilan THR saat masa pandemi bisa dipahami, namun SE tersebut tidak boleh digeneralisasi bagi semua perusahaan. Perusahaan yang masih mampu dan memiliki margin dalam laporan keuangannya, maka perusahaan itu harus tetap memberikan hak THR buruh sesuai aturan waktu. Namun, apabila kondisi perusahaan tersebut mengalami krisis atau kerugian selama pandemi, maka pemberian THR dengan sistem cicil diperbolehkan.
Di sinilah fungsi pengawas ketenagakerjaan yang ada di Disnaker setempat harus diperkuat. Setiap perusahaan harus transparan dengan kondisi keuangannya. Jangan sampai perusahaan justru memanfaatkan momen dan menjadi penumpang gelap dengan memanfaatkan hak pekerja.
Soal nasib buruh, buruh sejogyanya dapat memahami SE tersebut dengan melihat situasi pandemi saat ini yang merugikan berbagai sektor industri. Ditambah lagi, larangan pemerintah untuk melakukan mudik juga menjadikan urgensi THR tidak begitu mendesak bagi buruh.
Sebenarnya larangan mudik ini untuk mencegah penyebaran Covid-19, tetapi secara tidak langsung larangan itu berimplikasi pada nasib buruh di mana THR-nya diberikan dengan sistem cicil. Jadi, relevansi THR tidak sepenting seperti kondisi normal.
Meski begitu, diimbau perusahaan juga bisa memahami kondisi buruh dengan tetap memberikan THR sebagaimana jumlahnya dan dalam bentuk uang. Jangan hanya menuntut buruh untuk memahami situasi, tetapi pihak perusahaan sendiri tidak transparan dan acuh pada nasib buruh.
Terakhir, untuk negara tetap melakukan pengawasan terhadap kondisi setiap perusahaan agar penerapan SE itu dapat berjalan efektif. *