wartadigital.id
HeadlineOpini

Rahasia Jepang sebagai Negara Maju

 

Oleh: Febriana Keila

NIM: 125221008

Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Unair

 

Seperti yang kita tahu, Jepang merupakan salah satu negara maju di dunia. Dengan kecanggihan teknologi dan juga sumber daya manusia yang berkualitas, Jepang mampu membangun negaranya dengan baik. Namun, pernahkah kalian memikirkan apa yang membuat Jepang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas? Jawabannya adalah sistem pendidikan di Jepang yang luar biasa. Tapi bagaimana sistem pendidikan Jepang ini menjadi faktor di balik kemajuan negaranya?

Tentunya, Jepang tidak langsung menjadi negara maju seperti sekarang. Banyak hal yang dilalui Jepang untuk bisa menyesuaikan sistem pendidikan mereka dengan masyarakat. Sekitar tahun 1940-an atau setelah berakhirnya perang dunia ke II, sistem pendidikan Jepang masih dipengaruhi oleh para pemimpin di zaman Meiji meskipun sedikit dimodifikasi.

Pada masa ini, Jepang mulai mengubah sistem pendidikannya demi menghasilkan sumber daya manusia yang dibutuhkan oleh perusahaan dan industrial guna memajukan perekonomian negara. Ini menghasilkan pekerja laki-laki yang akan menyesuaikan diri dengan ideologi perusahaan. Sedangkan perempuan disebut dengan “bunga kantor” (sokuba no hana) yaitu peran pendukung di tempat kerja dan kemudian berhenti ketika mereka menikah untuk melahirkan generasi pekerja berikutnya.

Bagi masyarakat Jepang, pendidikan adalah salah satu cara untuk menyetarakan kedudukan dalam bermasyarakat. Dalam upaya menyetarakan kelas dalam masyarakat, Jepang mulai meminimalisir keragaman di pedesaan maupun di perkotaan. Sekolah dibangun dengan spesifikasi yang hampir sama di pada tingkat wajib (sampai akhir sekolah menengah pada usia 15 tahun). Anak-anak makan makanan dari menu sekolah yang sama, melakukan upacara yang sama, dan bahkan memiliki jam belajar yang sama di bawah panduan yang cermat dari Kementerian Pendidikan. Banyaknya peraturan sekolah yang ketat diterapkan untuk menghindari munculnya pilih kasih sehingga guru pun tidak berani untuk terlihat memilih atau memihak salah satu siswa atau kelompok dibanding siswa atau kelompok lainnya.

Hingga pada 1980, gelembung perekonomian Jepang mencapai puncaknya. Tentunya hal ini berkaitan erat dengan sistem pendidikan Jepang yang menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Sepanjang pertengahan dekade ini, dibentuk panitia khusus pendidikan yang berstatus tinggi yang dikenal sebagai Rinji Kyo-Iku Shingikai atau disingkat Rinkyo Shin yang didirikan oleh Perdana Menteri saat itu Nakasone Yasuhiro, membahas kekuatan dan kelemahan sistem pendidikan Jepang dan membuat rekomendasi untuk perubahan.

Namun, program ini tampaknya tidak menghasilkan sedikit hasil dalam waktu tiga tahun karena mereka memberikan lebih banyak penekanan pada individu. Akibatnya, banyak siswa yang mengeluh karena adanya tekanan sosiologis dan psikologis dari berbagai arah.

Oleh karena itu, mereka mulai mengenalkan lima hari seminggu sehingga anak-anak memiliki lebih banyak waktu untuk bereksplorasi di dalam maupun luar sekolah dan mengurangi jumlah waktu pembelajaran di kelas.

Kemerosotan dramatis dalam perekonomian Jepang menyusul ledakan ekonomi gelembung di awal tahun 1990-an. Mulai banyak pengangguran yang berusia muda dan sejumlah besar pengangguran memilih untuk bekerja paruh waktu. Selain masalah ekonomi yang terjadi pada 1990, Jepang juga mengalami masalah demografi dimana persentase angka kelahiran mulai menurun drastis dibanding tahun-tahun sebelumnya. Ini membuat banyak sekolah dan penitipan anak hanya memiliki sedikit anak di dalamnya.

Sebagai respon terhadap masalah-masalah yang terjadi agar Jepang bisa dengan cepat keluar dari masa resesi 1990, pemerintah melakukan deregulasi (Kisei Kanwa) di berbagai bidang, termasuk pendidikan. Pemerintah daerah Suginami di Tokyo melakukan percobaan dengan sistem alternatif berdasarkan model Inggris yaitu orangtua diperbolehkan untuk menentukan di sekolah dasar mana anak-anak mereka bersekolah, dan pemerintah daerah diberi wewenang untuk menutup sekolah-sekolah yang tidak populer, dengan alasan bahwa yang bertanggung jawab adalah orangtua, bukan pemerintah setempat. Misalnya saja pada tingkat penitipan anak prasekolah (Hoikuen), individu kini dapat memilih sekolah taman kanak-kanak.

Khususnya dalam hal pendidikan tinggi, kebijakan pemerintah beralih dari pemberian izin kepada institusi untuk dibuka atau dikembangkan program baru, menuju audit dan akreditasi setelah program tersebut selesai. Ini mencontohkan sebuah konsekuensi umum dari deregulasi yang luas yaitu pergeseran dari masyarakat dimana negara bertindak sebagai sebuah otoritas yang mengontrol segalanya terlebih dahulu ke masyarakat di mana individu mengambil keuntungan lebih besar dan tanggung jawab atas tindakan dan aktivitas mereka ditinjau setelah kejadiannya.

Namun, di balik kecermatan Jepang dalam menyesuaikan sistem pendidikannya, di balik siswa-siswi Jepang yang kita tahu belajar dari pagi hingga sore dan mengambil kelas tambahan sampai malam, ada sebuah fenomena yang disebut Futōkō yang secara harfiah memiliki arti tidak hadir sekolah. Futōkō berasal dari kata fu (不) yang berarti tidak dan tōkō (登校) yang berarti masuk sekolah. Sehingga futōkō (不登校) memiliki arti tidak menghadiri sekolah, tidak masuk sekolah atau absen sekolah.

Alasan terjadinya fenomena ini adalah masalah emosional, sosial, psikologis, dan lainnya. Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olahraga, Sains dan Teknologi (MEXT) Jepang ada 3 faktor utama yang menjadi penyebab seorang anak atau siswa menjadi futōkō, yaitu faktor yang berkaitan dengan sekolah, faktor yang berkaitan dengan keluarga dan faktor yang berkaitan dengan diri sendiri. Faktor yang berkaitan dengan sekolah seperti adanya masalah dengan teman atau bullying (ijime), masalah dengan guru, masalah dengan peraturan sekolah, kurangnya nilai prestasi akademik, atau masalah dalam beradaptasi di sekolah. Faktor yang berkaitan dengan keluarga seperti kurangnya dukungan dan apresiasi kepada anak sehingga membuat anak merasa tidak cukup atau adanya konflik dalam keluarga. Dan faktor yang berkaitan dengan diri sendiri seperti adanya rasa cemas, lesuh, gangguan ritme hidup, kecenderungan ingin bermain dan adanya kenakalan remaja.

Dalam upaya mengatasi fenomena ini, pemerintah Jepang melakukan beberapa cara seperti mengesahkan undang-undang tentang pengamanan kesempatan pendidikan setara dengan pendidikan biasa pada tahap wajib belajar, mendorong upaya pencegahan masalah futōkō di sekolah-sekolah dengan meminta seluruh warga sekolah (siswa dan guru) untuk berpartisipasi, dan menyediakan fasilitas atau lembaga belajar di luar sekolah seperti Kyōiku shien sentā (pusat dukungan pendidikan) dan free school agar siswa-siswa yang memiliki masalah futōkō bisa mendapatkan pembelajaran pengganti di luar sekolah.

Setiap negara pasti memiliki sisi unggulnya masing-masing. Seperti Jepang yang dikenal sebagai salah satu negara maju di dunia dan disebut tinggal di masa depan. Tapi ternyata untuk membangun negara yang maju seperti Jepang, diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas. Dan salah satu rahasia Jepang dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas terdapat pada sistem pendidikannya. Walaupun sistem pendidikan di Jepang cenderung ketat dengan belajar dari pagi hingga sore dan mengambil kelas tambahan sampai malam, cara ini ampuh untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dan membangun perekonomian Jepang.

Di sisi lain, sistem pendidikan Jepang yang ketat ini juga memunculkan fenomena futōkō atau tidak masuk sekolah yang bukan disebabkan oleh masalah ekonomi. Penulis berharap dengan ditulisnya artikel ini, Indonesia bisa mengambil sisi positif dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas dalam mengembangkan perekonomian negara. *

Related posts

Menuju Puncak Panen, Gubernur Khofifah Minta Bulog dan BUMN Tingkatkan Serapan Pembelian Beras Petani

redaksiWD

Akselerasi Transisi Energi, PLN Kembangkan Inovasi Lewat Ajang LIKE

redaksiWD

Cipta Kerja Resmi Jadi UU, BEM UI Tegaskan Tidak Butuh Dewan Perampok Rakyat

redaksiWD

Leave a Comment