JAKARTA (wartadigital.id) – Penangkapan eks petinggi Front Pembela Islam/FPI Munarman mendapat sorotan sejumlah pihak. Amnesty International Indonesia menilai Densus 88 Antiteror Polri telah melanggar Hak Asasi Manusia saat menangkap Munarman.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid mengatakan, polisi terkesan melakukan penangkapan yang sewenang-wenang dan mempertontonkan secara gamblang tindakan aparat yang tidak menghargai nilai-nilai HAM ketika menjemputnya dengan paksa.
“Menyeret dengan kasar, tidak memperbolehkannya memakai alas kaki, menutup matanya dengan kain hitam merupakan perlakuan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Itu melanggar asas praduga tak bersalah,” kata Usman Hamid dalam keterangannya, Rabu (28/4/2021).
Dia menyebut tuduhan terorisme yang ditujukan kepada Munarman tidak menjadi pembenaran bagi polisi untuk melanggar hak asasi manusia. “Munarman terlihat tidak membahayakan petugas dan tidak terlihat adanya urgensi aparat untuk melakukan tindakan paksa tersebut. Hak-hak Munarman harus dihormati apa pun tuduhan kejahatannya,” ujarnya.
Usman menjelaskan, dalam pasal 28 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme jelas menyatakan bahwa pelaksanaan penangkapan orang yang diduga melakukan Tindak Pidana Terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip HAM. “Ini berpotensi membawa erosi lebih jauh atas perlakuan negara yang kurang menghormati hukum dalam memperlakukan warganya secara adil,” ucap Usman.
Dia meminta Polri mengevaluasi kinerja Densus dalam peristiwa ini, setiap penangkapan harus menghormati nilai-nilai hak asasi manusia. “Belum lagi jika mengingat situasi kedaruratan pandemi Covid-19. Penegak hukum harus lebih sensitif, mempertimbangkan prokes dan hak atas kesehatan dari orang yang hendak ditangkap atau ditahan, termasuk menyediakan masker kepada yang menutupi mulut dan hidung, bukan justru membiarkannya terbuka dan menutup matanya dengan kain hitam,” tuturnya.
Sebelumnya kuasa hukum Munarman, Aziz Yanuar, memprotes cara kepolisian yang menutup mata kliennya saat digelandang ke rumah tahanan, Selasa malam. Munarman ditahan di Rutan Direktorat Reserse Narkoba Polda Metro Jaya.
Menurut Aziz, polisi hanya memikirkan keselamatan dirinya sendiri tanpa memikirkan keselamatan Munarman. “Kalau tersangkanya mengalami bahaya tidak dipikirkan? ditutup matanya nanti kalau nabrak gimana? Tidak pakai masker gimana? Itu kan nggak standar Covid-19. Kita di sini aja semua pakai masker,” ujar Aziz di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Rabu ( 28/4/2021).
Aziz menolak standar penanganan kliennya itu oleh polisi. Ia mengaku siap berdebat terkait standar penanganan tersebut.
Menurut Aziz, Munarman telah ditetapkan sebagai tersangka sejak 20 April 2021 dan surat penetapan tersangka baru diberikan 27 April 2021. Hal ini menurutnya tidak dibenarkan dan akan jadi pertimbangan dalam mengajukan gugatan praperadilan nanti. “Kami nggak mau menerima penetapan tersangka itu, karena back date,” ujar Aziz.
Sebelumnya, Kabag Penum Divisi Humas Polri Komisaris Besar Ahmad Ramadhan menjelaskan penutupan mata Munarman itu merupakan standar penanganan terhadap teroris. Standar ini, kata Ramadhan, bertujuan untuk memberikan keamanan bagi aparat yang melakukan penangkapan teroris.
“Sifat bahaya dari kelompok teror yang bisa berujung pada ancaman jiwa petugas lapangan. Maka, untuk mengamankan jiwa petugas lapangan, standarnya, baik yang ditangkap maupun yang menangkap ditutup wajahnya,” kata Ramadhan.
Dengan penutupan wajah itu, Munarman tidak bisa mengenali wajah petugas sehingga identitas petugas yang menangani kasus terorisme terlindungi. Ramadhan mengatakan kejahatan teror adalah kejahatan terorganisir yang jaringannya luas. “Sehingga penangkapan satu jaringan akan membuka jaringan-jaringan yang lainnya,” kata Ramadhan. set, gel