SURABAYA (wartadigital.id) – Pemanfaatan nuklir sebagai energi di Tanah Air bakal membutuhkan waktu yang panjang. Pro kontra terkait keamanan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) dan banyaknya tantangan disinyalir karena sarat beragam kepentingan masih terjadi sehingga tahapan proses pembangunan reaktor nuklir masih jauh dari harapan.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) 2014-2019 Ir Dwi Hary Soeryadi MMT menjelaskan nuklir sangat besar manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Dimanfaatkan di bidang pertanian dan peternakan, kesehatan dan obat-obatan, lingkungan, pertahanan dan keamanan, industri, konstruksi, energi dan masih banyak lagi. Meski besar manfaatnya, hingga kini Indonesia belum memiliki PLTN. Pemanfaatan nuklir sebagai energi di Indonesia masih mendapat sejumlah hambatan dan penolakan sebagian warga.
Dijelaskan Dwi Hary yang pro berpendapat Indonesia harus segera bangun PLTN karena sudah memiliki teknologi nuklir dan saat ini sudah ada teknologi nuklir mutakhir. Selain itu nuklir aman, murah, ramah lingkungan dan mendukung COP 21 Paris Agreement. Sedangkan yang kontra berpendapat Indonesia tak perlu PLTN karena butuh investasi tinggi, faktor keamanan, lemahnya tanggungjawab pemulihan. Selain itu sumber energi terbarukan di Indonesia sangat melimpah sehingga keberadaan PLTN membuat Indonesia tak akan pernah mandiri energi.
“Baik yang pro dan kontra sama-sama menyatakan berbagai alasan itu adalah hal terbaik untuk nusa dan bangsa. Karena itu menurut saya sudah saatnya dicari benang merahnya agar sama-sama tercapai satu tujuan demi kepentingan Indonesia saat ini dan khususnya di masa depan,” katanya dalam seminar secara daring bertema Renewable Energy: Indonesian Prospect & Alternatif Toward Clean Environment yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Maju dan Multi Disiplin (FTMM) Unair, Jumat (26/3/2021).
Acara tersebut dibuka oleh Rektor Unair Prof Dr Moh Nasih dan diawali sambutan oleh Dekan Fakultas Teknologi Maju dan Multi Disiplin (FTMM) Prof Dr Dwi Setyawan SSi, MSi. Seminar daring yang diikuti lebih dari 480 peserta itu juga menghadirkan pembicara Ir Daud Hadi Winarto MM (Business and Development Manager PT WIKA Industry Energy), Lilik Jamilatul A, PhD (Dosen Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Maju dan Multi Disiplin Unair).
Dwi Hary menyampaikan banyak persepsi yang salah mengenai nuklir yang berkembang di masyarakat. Menurutnya selama ini isu yang berkembang mengenai keselamatan selalu dikaitkan dengan yang terjadi di Chernobyl, Ukraina dan di Fukushima Jepang. “Inilah yang perlu diluruskan tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa hal itu bisa terjadi. Apalagi dalam rencana jangka menengah hingga 2021 akan disusun roadmap pengembangan PLTN di Indonesia,” ungkapnya.
Dijelaskannya proses membangun sebuah reaktor nuklir untuk pembangkit listrik memerlukan empat fase. Pertama, kesiapan membuat komitmen terhadap program nuklir melalui studi kelayakan, lalu kesiapan mengundang penawaran untuk PLTN pertama melalui proses bidding, kemudian kesiapan dan operasi PLTN pertama melalui commissioning. Saat ini, Indonesia belum bisa beranjak menuju fase kedua terkait persiapan untuk konstruksi reaktor setelah keputusan kebijakan diambil. Apalagi fase ketiga terkait kegiatan untuk implementasi pembangunan PLTN pertama dan fase keempat tentang pemeliharaan serta perbaikan PLTN secara berkelanjutan masih jauh panggang dari api.
“Saat ini kita belum beranjak menuju fase kedua terkait persiapan untuk konstruksi reaktor setelah keputusan kebijakan diambil. Dengan beragam hambatan Indonesia masih berkutat pada fase pertama selama lebih dari satu dekade,” katanya.
Salah satu peserta, Prof Agoes Soegianto saat dibuka sesi dialog juga mengakui dirinya termasuk pihak yang kurang sepakat soal pendirian PLTN di Indonesia. Menurutnya ada banyak potensi sumber energi terbarukan di Indonesia mulai air, laut, angin, sinar matahari, bio fuel, biomas, biogas dll. Kalau sumber energi ini full dimanfaatkan, pemanfaatkan nuklir tak diperlukan.
Selain itu Indonesia berada di ring of zone, dikelilingi gunung berapi aktif sehingga rawan terjadi gempa bumi atau letusan gunung berapi. Belum lagi soal manajemen pengawasan yang belum maksimal. Selama ini sudah ada SOP, masih banyak kecelakaan terjadi mulai kereta api, penerbangan.
“Kalau bicara bencana alam, jelas potensinya ada. Manajemen pengawasan juga belum maksimal selama ini, kalau tidak dilaksanakan maksimal bukan tak mungkin masalah-masalah di reaktor nuklir akan muncul,” katanya.
Prof Agoes Soegianto menuturkan, operasi sebuah PLTN, dari hulu hingga hilir berpotensi menghasilkan aneka macam limbah padat dan cair, sementara pembuangan limbah nuklir tersebut masih terkendala oleh rendahnya penerimaan masyarakat dan sejumlah masalah yang masih membutuhkan pemecahan supaya tidak berbahaya bagi lingkungan dan manusia tentunya.
Sementara Ir Daud Hadi Winarto dalam paparannya menjelaskan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) merupakan harapan masa depan Indonesia. Potensi sinar matahari yang diterima Indonesia karena berada di garis khatulistiwa merupakan anugerah yang harus dimanfaatkan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia. “PLTS merupakan salah satu potensi alam Indonesia yang paling aman dan mempunyai potensi maksimal untuk dikembangkan,” katanya.
Daud dalam paparannya menegaskan bahwa PT WIKA Industry Energy siap hadir di kampus, khususnya di Unair. Prodi-prodi di Fakultas Teknologi Maju dan Multidisplin Unair yaitu Prodi S1 Teknik Elektro, Prodi S1 Rekayasa Nanoteknologi, Prodi S1 Teknologi Sains Data, Prodi S1 Teknik Robotika dan Kecerdasan Buatan dan Prodi S1 Teknik Industri bisa bersinergi dengan PT WIKA Industry Energy untuk memaksimalkan teknologi energi surya dari sudut pandang keilmuannya masing-masing.
Sementara Lilik Jamilatul A, PhD juga sepakat bahwa sinar matahari adalah potensi alternatif yang minim risiko untuk dikembangkan sebagai energi terbarukan di Indonesia. Walaupun pengembangan teknologinya belum maksimal, perguruan tinggi perlu merapatkan barisan untuk segera mengembangkannya dengan dukungan full industri terkait. “Sudah saatnya perguruan tinggi dan industri saling bersinergi. Industri harus ikut hadir di kampus untuk penelitian dan riset bersama mahasiswa dan dosen,” katanya.
Dalam dialog yang diadakan di akhir acara, Prof Dr Retna Apsari selaku Wakil Dekan 3 FTMM juga menegaskan perlunya sinergi antara industri, perguruan tinggi dan pemerintah untuk menguak tabir misteri energi baru dan terbarukan di Indonesia. Baik permasalahan yang timbul dari energi nuklir ataupun energi surya agar segera dapat diimplementasikan di Indonesia, sehingga akan mengurangi ketergantungan pada energi fosil. “Salut untuk PT WIKA Energy yang sudah bersama kampus mewujudkan link and match agar ketahanan energi di Indonesia semakin kokoh dan berkelanjutan,” katanya. ttw