
SURABAYA (wartadigital.id) – Kemacetan lalulintas yang kerap terjadi di Surabaya menjadi sorotan tersendiri bagi sejumlah kalangan. Tak terkecuali bagi Totok Lucida, pengusaha nasional yang berasal dari Surabaya. Menginjak Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-732 pada 31 Mei 2025 nanti, alumni Unair yang memiliki sejumlah usaha mulai properti, otomotif, distributor obat, kontraktor ini menyarankan agar Pemkot Surabaya aktif mendorong warganya untuk menghuni hunian vertikal (vertical housing) yakni apartemen atau rusunawa.
Untuk mendorong warganya menghuni apartemen, Pemkot Surabaya perlu memberikan berbagai insentif dan kemudahan. Misalnya memberikan subsidi biaya listrik, air, dan IPL (Iuran Pengelola Lingkungan) untuk mengurangi beban finansial penghuni. Memberikan kemudahan dalam proses pengajuan izin tinggal atau perubahan status kepemilikan. Selain itu, edukasi tentang keunggulan apartemen, seperti fasilitas lengkap, keamanan, dan lokasi strategis, juga bisa menjadi langkah yang efektif. Penyediaan transportasi massal yang nyaman dengan harga terjangkau juga harus dilakukan, seperti MRT (Mass Rapid Transit) di Singapura.
“Yang terjadi saat ini, warga menilai operasional tinggal di apartemen lebih mahal dibandingkan tinggal di rumah. Mulai iuran bulanan untuk kebersihan, keamanan, biaya listrik, air. Kurang dukungan angkutan massal kemana-mana sehingga warga lebih suka menggunakan kendaraan pribadi. Jika tak segera diatasi kondisi ini, lama-lama Surabaya bisa seperti Jakarta, macet di mana-mana,” katanya, Jumat (16/5/2025).
Untuk mendorong warga mau tinggal di apartemen, menurut Totok yang pernah menjadi Ketua Umum DPP REI periode 2019-2022, IPL bisa digratiskan di lima tahun pertama. Pengembang nanggung biaya separo, APBD nanggung separo. Ditentukan lima tahun lagi bagaimana. Prinsipnya penataan harus lurus dan berkesinambungan, melibatkan masukan warga dan disosialisasikan ke publik sehingga masyarakat juga tahu mana area komersial dan non komersial. Jangan sampai ganti walikota ganti kebijakan sehingga menyulitkan penataan tata ruang kota. “Dalam IPL itu juga harus ada keterbukaan laporan keuangan. Kalau misalnya berlebih, uangnya kemana, semua harus jelas,” katanya.
Jika transportasi massal jalan dengan baik otomatis kendaraan yang bersliweran akan berkurang. Sekarang ini dari Surabaya Barat ke Surabaya Timur saja sudah macet. “Harus dipecahkan masalah ini, kalau sekadar bangun jalan gak bisa. Harus ke arah public transport yang nyaman, terjangkau dan terkoneksi. Dampak kemacetan bisa kemana-mana,” katanya.
Menurut Totok, rusunawa milik Pemkot Surabaya yang berdiri di atas lahan negara juga perlu direvitalisasi. Misalnya Rusunawa Urip Sumoharjo. Jangan dibangun empat tingkat, perlu direvitalisasi menjadi 20 atau 30 tingkat sehingga bisa menampung lebih banyak warga. “Konsepnya bisa dibuat subsidi silang. Misalnya masyarakat gak mampu, rusunawanya dibangun cukup 6 atau 8 tingkat. Biaya IPL itu dibiayai rusunawa atau apartemen komersial yang dibangun minimal 20 tingkat. Jadi para pengembang tidak mengganggu APBD. Setelah lima tahun silakan Anda kelola sendiri, kan gitu kira-kira pemikirannya,” katanya.
Dijelaskan Totok dulu di Singapura, Thailand, Hongkong juga sulit mendorong warganya beralih ke hunian vertikal. Namun dengan berbagai stimulus yang diberikan pemerintah, bisa merelokasi warga ke hunian vertikal. Kalau diserahkan ke mekanisme pasar tidak akan jalan, tanpa stimulus dari pemerintah. “Pemerintah di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, Thailand juga menerapkan kebijakan pajak landed house lebih mahal dibandingkan vertical housing. Ini juga perlu dipertimbangkan implementasinya di Surabaya,” katanya.
Totok Lucida mengatakan upaya membangun Kota Surabaya yang bebas macet dan nyaman ditinggali oleh seluruh warganya perlu niat dan kerja keras pemerintah. Masyarakat perlu dan butuh kebijakan nyata, konkret yang berpihak pada mereka. “Ayo Surabaya dibangun secara riil untuk rakyat. Di usianya yang mau ke 732 tahun, apa programnya untuk rakyat. Jangan membuat kebijakan hit and run, harus berkesinambungan yang disepakati dengan DPRD Surabaya. Lima tahun gak cukup untuk menata Surabaya, walikota selanjutnya meneruskan kebijakan walikota sebelumnya,” katanya. nti